Jumat, 07 April 2017

HIDUP MULIA ATAU MATI SYAHID

Ini adalah sebuah ungkapan yang cukup terkenal, beberapa pemuda kaum muslimin menempelkan sticker-sticker yang berisi kalimat ini di rumah dan kendaraan mereka, sebagian mereka menuliskan dalam motto hidupnya. Kalimat ini menggambarkan cita-cita yang tinggi, hidup dengan kemulian Islam atau kalaupun meninggal dunia, maka diwafatkan sebagai syuhada. Kalimat ini memang sepantasnya menjadi motto hidup kaum Muslimin, karena mereka adalah kaum yang seharusnya memiliki cita-cita yang tinggi. Allah Azza wa Jalla menggantungkan kemulian Islam dengan berjihad di jalannya. Nabi Sholallahu ‘alaihi wa Salaam bersabda :
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Jika kalian berjual beli dengan ‘Inah, memegangi ekor sapi, ridho dengan pertanian dan kalian meninggalkan jihad, Allah akan menimpakan kepada kalian kehinaan, tidak akan dicabut sampai kalian kembali kepada agama kalian”(HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Imam Al Albani).
Hadits ini menerangkan ketika kondisi kaum Muslimin hidup dengan tidak mengikuti syariat Islam, karena ekonominya menggunakan system ribawi, sibuk dengan dunia melebihi bekal untuk akhiratnya dan meninggalkan jihad, dimana itu adalah peluang untuk mati syahid, maka kehinaan akan ditimpakan kepada mereka. Sehingga motto “hidup mulia dan mati syahid” hanya sekedar isapan jempol saja.

Na’am kita harus memiliki motto “hidup mulia atau mati syahid”, karena ini adalah nasehat Nabi Sholallahu ‘alaihi wa Salaam kepada Umar bin Khothob Rodhiyallahu anhu. Ibnu Umar Rodhiyallahu anhu berkata :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَأَى عَلَى عُمَرَ قَمِيصًا أَبْيَضَ فَقَالَ « ثَوْبُكَ هَذَا غَسِيلٌ أَمْ جَدِيدٌ ». قَالَ لاَ بَلْ غَسِيلٌ. قَالَ « الْبَسْ جَدِيدًا وَعِشْ حَمِيدًا وَمُتْ شَهِيدًا »
“Bahwa Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa Salaam melihat Umar Rodhiyallahu anhu memakai gamis putih, maka Nabi Sholallahu ‘alaihi wa Salaam berkata : “bajumu itu bekas dicuci atau baru?”, Umar Rodhiyallahu anhu menjawab : ‘tidak ini bekas dicuci’. Nabi Sholallahu ‘alaihi wa Salaam bersabda : “pakailah pakaian baru, Hidup Mulia atau Mati Syahid”.
Takhrij Hadits :
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dalam “Sunannya” (no. 3687), Imam Ahmad dalam “Al Musnad” (no. 5620), Imam Abdur Rozaq dalam “Al Mushonnaf” (no. 20382), Imam Nasa’I dalam “Sunan Kubro” (no. 10143), Imam Ibnu Hibban dalam “Shahihnya” (no. 7023), Imam Thabrani dalam “Mu’jam Kabir” (no. 12948), Imam Abu Ya’laa dalam “Al Musnad” (no. 5419), Imam Abdu bin Humaid dalam “Al Musnad” (no. 725), Imam Baghowi dalam “Syarhus Sunnah” (6/41), Imam Ibnus Suniy dalam “Amalul Yaum wal Lailah” (no. 268)  semuanya dari jalan Imam Abdur Rozaq dari Ma’mar dari Az-Zuhri dari Saalim dari Ibnu Umar Rodhiyallahu anhu beliau berkata : “Al hadits”.
Para perowinya adalah para perowi tsiqoh, para Aimah yang masyhur.
Status Hadits
Dhohir sanadnya hadits ini shahih, sehingga tidak sedikit Aimah yang menshahihkan hadits ini, diantaranya Imam Ibnu Hibban dan Imam Bushiri dalam “Az-Zawaid”. Imam Al Haitsamiy dalam “Majmu az-Zawaaid” berkata :
رواه أحمد والطبراني وزاد بعد قوله: “ويرزقك الله قرة عين في الدنيا والآخرة”. قال: وإياك يا رسول الله. ورجالهما رجال الصحيح.
“diriwayatkan Ahmad dan Thabrani dan terdapat tambahan setelahnya : “semoga Allah member rizki kepadamu, pandangan sejuk didunia dan akhirat”, Umar Rodhiyallahu anhu berkata : ‘dan engkau juga wahai Rasulullah’. Para perowi keduanya perowi shahih”.
Namun sebagian Aimah hadits mencacat hadits ini, Imam Tirmidzi dalam “Ilallul Kabiir” (no. 465) berkata :
سألت محمدا عن هذا الحديث قال : قال سليمان الشاذكوني : قدمت على عبد الرزاق فحدثنا بهذا الحديث عن معمر ، عن الزهري ، عن سالم ، عن أبيه ، ثم رأيت عبد الرزاق يحدث بهذا الحديث عن سفيان الثوري ، عن عاصم بن عبيد الله ، عن سالم ، عن ابن عمر . قال محمد : وقد حدثونا بهذا عن عبد الرزاق ، عن سفيان أيضا . قال محمد : وكلا الحديثين لا شيء ، وأما حديث سفيان فالصحيح ما حدثنا به أبو نعيم ، عن سفيان ، عن ابن أبي خالد ، عن أبي الأشهب ، أن النبي صلى الله عليه وسلم رأى على عمر ثوبا جديدا مرسل قال محمد : واسم أبي الأشهب هذا زاذان
“aku bertanya kepada Muhammad (Al Bukhori) tentang hadits ini?’, lalu beliau menjawab : ‘Sulaiman asy-Syaadzukuuniy berkata, ‘aku berkunjung ke Abdur Rozaq, lalu beliau menceritakan hadits ini kepada kami, dari Ma’mar dari az-Zuhriy dari Saalim dari Bapaknya (Ibnu Umar Rodhiyallahu anhu). Lalu aku melihat juga Abdur Rozaq menceritakan hadits ini dari Sufyan ats-Tsauri dari ‘Aashim bin Ubaidillah dari Saalim dari Ibnu Umar Rodhiyallahu anhu’. Muhammad berkata : ‘mereka menceritakan hadits ini juga dari Abdur Rozaq dari Sufyan, kedua hadits ini tidak ada apa-apanya (baca : dhoif). Adapun hadits Sufyan yang shahih adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dari Sufyan dari Ibnu Abi Khoolid dari Abi al-Asyhab bahwa Nabi Sholallahu ‘alaihi wa Salaam melihat Umar memakai baju baru…’, secara mursal. Nama Abu al-Asyhab adalah Zaadzaan”.
Syaikh Syu’aib Arnauth dalam “Ta’liq Musnad Ahmad” (9/441) berkata :
رجاله ثقات رجال الشيخين، لكن أعله الأئمة الحفاظ، فقال يحيى بن معين – فيما نقله عنه ابنُ عدي في “الكامل”5/1948-: هو حديث منكر، ليس يرويه أحد غير عبد الرزاق.
وقال النسائي في “عمل اليوم والليلة”بعد إيراده الحديث: هذا حديث منكر، أنكره يحيى بن سعيد القطان على عبد الرزاق، لم يروه عن معمر غيرُ عبد الرزاق، وقد رُوي هذا الحديث عن معقل بن عبد الله، واختلف عليه فيه، فرُوي عن معقل، عن إبراهيم بن سعد، عن الزهري، مرسلًا، وهذا الحديث ليس من حديث الزهري، والله أعلم.
وقال أبو حاتم – فيما نقله عنه ابنه في “العلل”1/490-: هو حديث باطل.
“Para perowinya tsiqoh, perowi Bukhori-Muslim, namun hadits ini dicacat oleh Aimah Hufadz, Yahya bin Ma’in berkata sebagaimana dinukil oleh Ibnu ‘Adiy dalam “Al Kaamil” (5/1948) : ‘ini hadits mungkar, tidak ada yang meriwaykannya selain Abdur Rozaq’.
“Nasa’I berkata dalam “Amalul Yaum wal Lailah” setelah meriwayatkan hadits ini : ‘ini hadits Mungkar, diingkari oleh Yahya bin Sa’id Al Qohthoon karena Abdur Rozaq, tidak ada yang meriwayatkan dari Ma’mar selain Abdur Rozaq, telah diriwayatkan hadits ini dari Ma’qil bin Abdullah dan terjadi perselisihan padanya, diriwayatkan dari Ma’qil dari Ibrohim bin Sa’ad dari az-Zuhri secara mursal, dan hadits ini (yaitu hadits pembahasan kita-pent.) bukan haditsnya a-Zuhri, Wallahu A’lam’.
Abu hatim berkata –sebagaimana dinukil anaknya dalam “Al Ilal” (1/490) : ‘ini hadits batil’”.
Maka para Aimah yang mencacat hadits ini dapat disimpulkan bahwa alasannya karena :
  1. Terdapat dalam jalan lain dari Az-zuhri secara mursal.
  2. Terjadi kegoncangan dalam riwayat Imam Abdur Rozaq, suatu kali beliau mengatakan dari Ma’mar dan lain kali mengatakan dari Sufyan Ats-Tsauri.
  3. Riwayat dari Ats-Tsauri dirajihkan oleh Imam Muhammad guru Imam Tirmidzi, berdasarkan riwayat Abu Nu’aim adalah mursal kepada Abul Asyhab.
  4. Imam Nasa’I dan Imam Muhammad (mungkin yang dimaksud Imam Bukhori, gurunya Imam Tirmidzi) merajihkan bahwa hadits ini mursal, dan mursal adalah termasuk hadits dhoif.
Imam Abdur Rozaq adalah perowi yang tsiqoh dan tsabat, beliau berguru kepada Imam Ma’mar bin Rosyid selama 7 atau 8 tahun, sebagaimana tercantum dalam biografi beliau di “Tahdzibul Kamal liMizzi”. Beliau juga salah satu murid terbaiknya Imam Sufyan Ats-Tsauri sebagaimana dikatakan Imam Yahya bin Main, ketika ditanya siapa saja muridnya Imam Sufyan Ats-Tsauri. Seandainya benar bahwa hadits ini tidak shahih, maka ini adalah ketergelinciran dari seorang perowi tsiqoh. Dan juga ketelitian yang tinggi dari Aimah hadits dalam mengkaji sanad hadits, bagaimana tidak Imam Abdur Rozaq menyebutkan sanad ini dari Ma’mar guru yang ia bermulazamah lama kepadanya, kemudian Imam Ma’mar juga meriwayatkan dari guru yang lama ia bermulazamah kepadanya yaitu Imam az-Zuhri, begitu juga Imam az-Zuhri kepada Imam Saalim bin Abdullah bin Umar, lalu Saalim mengambil dari guru sekaligus Bapaknya sendiri Abdullah bin Umar Rodhiyallahu anhu, sungguh ini adalah mata rantai emas, namun para ulama tidak silau dengan gemerlapnya sanad ini, sehingga mereka mendeteksi cacat padanya.
Namun Imam Al Albani dalam “Silsilah Shahihah” (no. 352) menemukan jalan lain untuk menguatkan hadits ini, kata beliau :
قلت : و جدت له شاهدا مرسلا أخرجه بن أبي شيبة في المصنف عن عبد الله بن إدريس عن أبي الأشهب عن رجل ، فذكر المتن بنحو رواية أحمد ، و أبو الأشهب اسمه جعفر ابن حيان العطاردي و هو من رجال الصحيح ، و سمع من كبار التابعين ، و هذا يدل على أن للحديث أصلا ، و أقل درجاته أن يوصف بالحسن ” .
“aku mendapatkan syahid (penguat) secara mursal yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam “Al Mushonnaf” dari Abdullah bin Idriis dari Abil AsyHab dari seorang laki-laki, lalu disebutkan matan hadits sama seperti lafadz Imam Ahmad. Abul Asyhab namanya Ja’far bin Hayyaan Al ‘Athooridiy ia perowi shahih, mendengar dari Tabi’I kibar. Hal ini menunjukkan bahwa hadits ini memiliki asal, dan minimal derajatnya adalah Hasan”.
Apa yang ditemukan Imam Al Albani, ditemukan juga oleh Al Hafidz Ibnu Hajar, sebagaimana yang dinukil oleh Syaikh Syu’aib Arnauth dalam “Ta’liq Musnad Ahmad”, kata beliau :
وحَسْنَه الحافظ في “نتائج الأفكار” 1/136-138 لأنّ له شاهداً رواه ابن أبي شيبة في “المصنف”8/453 و10/402، وابن سعد 3/329، والدولابي 1/109 عن عبد الله بن إدريس، عن أبي الأشهب – وهو جعفربن حيان العطاردي -، عن رجل من مزينة، عن النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وهو شاهد ضعيف لإرساله.
“dihasankan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar dalam “Nataijul Afkaar” (1/136-138) karena ia memiliki syahid (penguat) yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam “Al Mushonnaf” (8/453 & 10/402), Ibnu Sa’ad (3/329), Ad-Daulaabiy (1/1090) dari Abdullah bin Idris dari Abil Asyhab –Ja’far bin Hayyaan Al ‘Athooridiy- dari seorang laki-laki penduduk Maziniyyah dari Nabi Sholallahu ‘alaihi wa Salaam. Ini adalah syahid (penguat) yang dhoif karena mursal”.
Kesimpulan akhir, saya condong kepada pendapat yang menghasankan hadits ini, karena hadits mursal yang dikuatkan oleh hadits yang muttashil (bersambung sanadnya) sampai kepada Rasulullah, sekalipun lemah, akan menjadikan hadits mursal tersebut naik statusnya menjadi Hasan lighoirih.
Namun apapun status hadits ini, sudah seharusnya kita hidup dengan mulia yaitu hidup dengan syariat Islam yang dipahami oleh Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa Salaam dan para sahabatnya Rodhiyallahu anhum ajma’in atau yang biasa disebut dengan manhaj salaf, jadi kita hidup mulia dengan manhaj salaf dan diwafatkan dalam kondisi syahid, apakah dengan jihad secara fisik, harta atau ilmu atau ketiga perkara semuanya.
Apakah anda seorang munafik? Yang tidak memiliki cita-cita untuk berjihad, padahal Nabi Sholallahu ‘alaihi wa Salaam bersabda :
مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ، وَلَمْ يُحَدِّثْ نَفْسَهُ بِالْغَزْوِ مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ
“Barangsiapa yang mati dan tidak berperang (jihad fi sabilillah) dan tidak meniatkan dalam dirinya untuk berjihad, maka ia mati diatas cabang kemunafikan” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Imam Al Albani).
Mari kita realisasikan motto “hidup mulia atau mati syahid”, niscaya akan berjayalah Islam dan Kaum Muslimin sebagaimana dahulu para salaf telah Berjaya.

Artikel Lebih Lengkapnya klik disini
Share:

0 komentar:

Posting Komentar