Di
Kota Syam (Syiria) ada seorang pendeta Yahudi yang sangat membenci
Rasulullah Muhammad Saw. Pendeta tersebut mempunyai sebuah kegiatan
kerohanian yang diadakan tiap Sabtu, dan dihadiri puluhan ribu jema’at.
Read Full Post »
Read Full Post »
Suatu saat ketika ia sedang mempersiapkan
materi yang akan diajarkan, ia menemukan sejarah keagungan Nabi
Muhammad saw dalam kitab Taurat yang dibacanya. Semula terdapat delapan
tempat dimana sejarah Rasulullah tertulis dalam kitab agungnya orang
Yahudi itu. Karena rasa bencinya kepada Rasulullah, ia merobek delapan
tempat tersebut.
Pada hari Sabtu berikutnya (pekan kedua)
di kesempatan yang sama ia menyiapkan materi kitab Taurat yang akan
diajarkan kepada murid-muridnya. Ia kembali menemukan keterangan dalam
kitab tersebut yang menjelaskan tentang sejarah Rasulullah saw pada 16
tempat dan semuanya itu juga ia robek. Kemudian pada pekan hari Sabtu
berikutnya (pekan ketiga) saat ia mempersiapkan materi untuk pengajian
kitab Tauratnya, kembali ia menemukan 24 tempat dalam kitab tersebut
yang menceritakan tentang Rasulullah saw dan semuanya pun juga
dirobeknya.
Namun apa yang telah ia lakukan membuat
ia menjadi penasaran ingin bertemu dengan Rasulullah Muhammad saw. Ia
berpikir jarak antara daerahnya (Syam) dan Kota Madinah adalah
perjalanan selama 30 hari (menggunakan onta), sehingga perjalanan itu
harus meninggalkan kegiatan rutinnya paling tidak 8 kali pertemuan.
Beberapa orang murid mencoba untuk mengingatkan sang pendeta Yahudi tersebut, “Sebaiknya
tuan pendeta tidak menemui Muhammad, karena siapapun orang yang bertemu
dengannya pasti akan tunduk padanya, kalau nanti anda tunduk kepada
Muhammad, lalu siapa yang nantinya memimpin kami ?”. Mendengar nasehat tersebut pendetapun mengurungkan niatnya pergi ke Madinah untuk menemui Muhammad .
Namun karena penasaran, sepekan kemudian
sang pendeta kembali mengutarakan keinginannya yang tertunda tersebut.
Tapi kembali murid-muridnya melarangnya. Hal tersebut terulang tiga
kali. Hingga akhirnya pendetapun berkata: ” Atas kebesaran Nabi Musa dan Kitab Taurat saya harap kalian memperkenankan saya bertemu Muhammad”. Dan para muridpun akhirnya merelakan pendetanya pergi menemui Nabi besar Muhammad saw.
Singkat cerita, berangkatlah sang pendeta
ke Madinah. 30 hari kemudian, setiba di pintu gerbang kota, sang
pendeta berjumpa seorang lelaki tampan, berkulit putih, berbadan tinggi
dan berbaju serba putih. Ia mengira bahwa lelaki itu adalah Muhammad,
iapun menyapanya : “Assalamu Alaika yaa Muhammad”.
Namun tanpa disangka, lelaki itu
tiba-tiba menangis tersedu-sedu begitu mendengar sapaan tersebut. Si
pendeta terheran-heran. Tak lama laki-laki itupun mendekati si pendeta
dan menanyakan asal sang pendeta “Anda dari mana ?”. “Saya dari tempat yang jauh, dari Syam dan saya ingin bertemu Muhammad” jawab si pendeta.
Mendengar jawaban tersebut, laki-laki itupun segera mengantarkannya ke Masjid Nabawi.
Di depan pintu masjid pendeta yang sudah tak sabar lagi bertemu Rasulullah segera mengucapkan salam “Assalamu’alaikum, Assalamu Alaika Yaa Muhammad”.
Di depan pintu masjid pendeta yang sudah tak sabar lagi bertemu Rasulullah segera mengucapkan salam “Assalamu’alaikum, Assalamu Alaika Yaa Muhammad”.
Seketika semua sahabat yang berada di
dalamnya menangis tersedu-sedu. Ia semakin kaget karena setiap ia
mengucapkan salam kepada penduduk Madinah mereka langsung menangis.
Ketika suasana masjid makin penuh disesaki isak suara tangis, sahabat
Ali bin Abi Thalib segera menemuinya dan terjadilah percakapan :
Ali ra : “ Anda dari mana ?”
Pendeta : “ Saya dari tempat yang jauh, kota Syam”
Ali ra: “Ada keperluan apa anda kemari ?”
Pendeta : “Saya ingin bertemu Muhammad”,
Ali ra : “ Terlambat…! Seminggu yang lalu beliau wafat,”
Pendeta (sambil penuh penyesalan) : “Kalau begitu saya ingin melihat jubahnya!”
Pendeta : “ Saya dari tempat yang jauh, kota Syam”
Ali ra: “Ada keperluan apa anda kemari ?”
Pendeta : “Saya ingin bertemu Muhammad”,
Ali ra : “ Terlambat…! Seminggu yang lalu beliau wafat,”
Pendeta (sambil penuh penyesalan) : “Kalau begitu saya ingin melihat jubahnya!”
Ali ra lalu menyuruh sahabat Bilal bin
Rabah untuk mengambilkan jubah Nabi di rumahnya. Sesampai di depan pintu
rumah, Bilal berkata “ Wahai Sayyidah Fatimah, ada tamu ingin
melihat jubah Rasulullah, saya disuruh sahabat Ali untuk mengambilkan
jubah itu untuknya,”.
Sayyidah Fatimah segera membuka lemari
tempat jubah disimpan. Putri bungsu Rasulullah itu langsung menangis
teringat bau harum tubuh ayahandanya tercinta. Diciuminya jubah
tersebut, sebelum beliau berikan kepada Bilal. Bilalpun kemudian
menangis sambil membawanya ke masjid Nabawi. Dan begitu Bilal sampai di
masjid, semua sahabat yang berada di dalam masjid menangis teringat
Rasulullah saw.
Setelah Bilal menyerahkan jubah kepada
Ali, Ali segera memberikan jubah tersebut kepada sang pendeta, yang
segera menciuminya seraya berkata “ Ternyata benar, dialah utusan Allah, beginilah bau harum Nabi Muhammad saw seperti yang disampaikan dalam kitab Taurat !“.
Dan ketika jubah itu ia hamparkan, ia
melihat dua belas tambalan pada jubah tersebut, sesuai dengan apa yang
diterangkan dalam kitab Taurat. Sang pendetapun makin yakin bahwa orang
yang baru seminggu meninggal dan ditangisi semua orang itu adalah
Muhammad yang tertulis dalam kitabnya, dan ia adalah utusan Allah.
”Katakanlah, Asyhadu an Laa Ilaaha Illa Allah, Wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah” jawab Ali, lembut.
Sang pendeta segera mengikuti ucapan Ali ra. Maka resmilah ia menjadi seorang Muslim.
“ Wahai sahabat Ali! Aku ingin berziarah makam Rasulullah Muhammad Saw”, pintanya tak lama setelah ia bersyahadat.
Ali lalu menyuruh sahabat Bilal untuk
mengantarkannya ke makam Rasul. Sesampainya di sana sang bekas pendeta
mengangkat kedua tangannya seraya berkata :
“ Yaa Allah.. ! Aku ingin bertemu Nabi Muhammad, namun kini aku sudah terlambat, dan aku ingin agar engkau mempertemukanku dengannya di alam barzakh, mohon matikanlah aku !”.
Tiba-tiba
iapun terjatuh dan langsung meninggal dunia. Inna lillahi wa inna
ilaihi roji’un. Para sahabat kemudian memakamkan mantan pendeta tersebut
di pemakaman Baqi, tak jauh dari masjid Nabawi dimana Nabi yang
tadinya dibencinya itu dimakamkan.
Begitulah Allah berkehendak memberikan
hidayah kepada seorang pendeta Yahudi yang sangat membenci Rasulullah
saw, melalui ayat-ayat yang tertulis dalam kitab Taurat.
Wallahu’alam bish shawwab.
Jakarta, 13 Maret 2017.
Dikutip dari :
Read Full Post »Madinah Sebelum Datangnya Islam
Posted in Sirah Nabawiyah ( Sejarah Hidup Rasulullah saw) on February 17, 2017|
Leave a Comment »
Madinah yang merupakan pusat
bermulanya Islam sebelum berkembang ke seluruh dunia di mana ia menjadi
tempat kelahiran pertama masyarakat Islam. Oleh itu menjadi suatu
kemestian untuk mendapat gambaran yang tepat mengenai kedudukan bandar
ini dari segi peradaban, kemasyarakatan, ekonomi, hubungan antara
qabilah, markaz Yahudi, ketenteraan dan juga suasana yang menjadikan
bandar ini mewah dan kaya serta menjadi pusat pertemuan berbilang agama,
pelbagai kebudayaan dan masyarakat. Ia berlainan dengan Mekah yang
hanya mempunyai satu tabiat, satu agama yang dikongsi bersama oleh semua
warganya. Madinah lebih banyak terdapat air, iklimnya lebih sejuk
daripada Mekah dan tabiat penduduknya lembah-lembut sesuai dengan
kehidupan kaum tani. Sebagai ringkasannya maka keadaan dan suasana
Yathrib sebelum kedatangan Islam adalah sebagaimana fakta dan gambaran
yang akan disebut dibawah.
a. Kaum Yahudi di Madinah
Menurut ahli sejarah kedatangan kaum Yahudi ke Yathrib selepas peperangan antara bangsa antara Yahudi dengan Rome pada tahun 70 masihi yang berkesudahan dengan musnahnya Palestin dan runtuhnya Haikal atau biara utama Yahudi di Baitul Maqdis. Kaum Yahudi ini terdiri dari tiga qabilah yang terbesar iaitu qabilah Qainuqa’, al-Nadhir dan Quraidzah di mana hubungan antar ketiga qabilah tersebut amat tegang di mana berlaku peperangan sesama mereka yang berterusan sejak peperangan Bu’ath. Mereka tinggal di pelbagai perkampungan khas seperti bani Qainuqa’ tinggal dalam bandar Madinah, bani Nadhor tinggal di sebelah atas luar Madinah di mana kawasan mereka subur dengan tanaman kurma dan tanaman bermusim manakala bani Quraidzah pula tinggal di kawasan yang bernama Mahzur yang jaraknya beberapa batu di selatan Madinah.
Menurut ahli sejarah kedatangan kaum Yahudi ke Yathrib selepas peperangan antara bangsa antara Yahudi dengan Rome pada tahun 70 masihi yang berkesudahan dengan musnahnya Palestin dan runtuhnya Haikal atau biara utama Yahudi di Baitul Maqdis. Kaum Yahudi ini terdiri dari tiga qabilah yang terbesar iaitu qabilah Qainuqa’, al-Nadhir dan Quraidzah di mana hubungan antar ketiga qabilah tersebut amat tegang di mana berlaku peperangan sesama mereka yang berterusan sejak peperangan Bu’ath. Mereka tinggal di pelbagai perkampungan khas seperti bani Qainuqa’ tinggal dalam bandar Madinah, bani Nadhor tinggal di sebelah atas luar Madinah di mana kawasan mereka subur dengan tanaman kurma dan tanaman bermusim manakala bani Quraidzah pula tinggal di kawasan yang bernama Mahzur yang jaraknya beberapa batu di selatan Madinah.
Kaum Yahudi memiliki beberapa kubu dan
benteng serta kampung di mana mereka hidup berjauhan dan berkelompok
yang menyebabkan mereka tidak mampu mendirikan pemerintahan Yahudi
sebaliknya terpaksa membayar upeti setiap tahun kepada ketua-ketua
beberapa qabilan Arab sebagai perlindungan dari gangguan Arab badwi.
Bangsa Yaudi menyifatkan diri mereka
sebagai suatu bangsa yang ahli dalam pengetahuan agama dan syariat di
mana mereka mempunyai pusat pengajian sendiri untuk perkara tersebut
disamping belajar mengenai sejarah lampau mereka khususnya berkenaan
rasul dan nabi mereka. Mereka juga mempunyai tempat khusus untuk
beribadat di mana disitulah mereka berkumpul untuk berbincang mengenai
agama dan keduniaan mereka. Mereka juga mempunyai perundangan dan
tatacara hidup tersendiri yang sebahagiannya diambil daripada kitab suci
mereka dan sebahagian lagi dibuat oleh pendeta mereka. Disamping itu
mereka mempunyai hari-hari perayaan tertentu, hari-hari tertentu untuk
mereka berpuasa seperti hari ‘Asyura.
Hasil pendapatan mereka yang terbesar
ialah mengambil keuntungan dari penggadaian barang dan riba. Keadaan
Madinah sebagai kawasan pertanian memberi peluang kepada mereka bergiat
dengan riba terutama dari petani yang mendapatkan uang sementara
menunggu musim menuai. Penggadaian bukan sahaja melibatkan uang atau
harta benda sahaja tetapi wanita dan anak-anak juga dijadikan barang
gadaian. Kaum Yahudi dapat menguasai ekonomi Madinah dan seterusnya
dengan ekonomi yang kukuh mereka menguasai pasar-pasar tanpa bertimbang
rasa, mereka menyorok barangan keperluan untuk mengaut keuntungan yang
berlipat ganda sehingga mereka dibenci oleh masyarakat Arab setempat.
Demi kepentingan ekonomi mereka membuat hubungan dengan kaum Aus dan
Khazraj dengan mengadu-domba keduanya yang menyebabkan bangsa Arab lemah
dan kaum Yahudi terus menguasai ekonomi Madinah.
Bahasa yang mereka guna ialah bahasa Arab
tetapi turut bercampur dengan bahasa Ibrani. Manakala dari segi
penyebaran agama Yahudi tidaklah meluas memandangkan mereka tidak
berminat mengajak bangsa lain untuk menganut agama Yahudi.
b. Suku Kaum Aus dan Khazraj
Suku kaum Aus dan Khazraj merupakan penduduk berbangsa Arab yang mendiami Yathrib lanjutan daripada qabilah-qabilah al-Azdiyah di Yaman yang berpindah berulangkali dalam masa berbeza disebabkan banyak faktor antaranya kekacauan disebabkan serangan kajum Habshi di Yaman dan juga kemerosotan pengairan apabila robohnya bendungan Ma’rib. Mereka merupakan suku kaum yang mendiami Yathrib kemudian daripada kaum Yahudi.
Suku kaum Aus dan Khazraj merupakan penduduk berbangsa Arab yang mendiami Yathrib lanjutan daripada qabilah-qabilah al-Azdiyah di Yaman yang berpindah berulangkali dalam masa berbeza disebabkan banyak faktor antaranya kekacauan disebabkan serangan kajum Habshi di Yaman dan juga kemerosotan pengairan apabila robohnya bendungan Ma’rib. Mereka merupakan suku kaum yang mendiami Yathrib kemudian daripada kaum Yahudi.
Kaum Aus tinggal di selatan dan timur
iaitu bahagian tinggi Yathrib yang merupakan kawasan pertanian yang
subur manakala Kaum Khazraj berada di tengah sebelah utara iaitu
bahagian rendah bandar yang merupakan kawasan kurang subur. Jumlah kaum
Aus dan Khazraj menurut perkiraan berdasarkan keikut sertaan mereka
dalam peperangan setelah hijrah iaitu semasa penaklukan Mekah ialah 4000
orang.
Kedudukan kaum Arab di Yathrib di masa
hijrah adalah kuat di mana merekalah yang menguasai urusan di situ.
Berpecahan kaum yahudi menyebabkan mereka tidak mampu menyaingi bangsa
Arab terutama ada daripada mereka yang bersama kaum Aus dan ada pula
bersama kaum Khazraj. Namun begitu bangsa Arab suku Aus dan Khazraj
turut berperang sesama mereka di mana perang Samir merupakan peperangan
pertama dan diakhiri dengan peperangan Bu’ath lima tahun sebelum hijrah.
Kaum Yahudilah yang memanas-manasi mereka dan mendesak agar mereka
berpecah dengan menanamkan semangat dengki. Akhirnya mereka tidak mampu
menghadapi kaum Yahudi. Namun demikian, akal bulus mereka disadari oleh
bangsa Arab di mana mereka men-cap kaum Yahudi sebagai ‘musang’.
c. Kedudukan Geografi Bandar Madinah
Yathrib atau Madinah ketika hijrahnya nabi s.a.w ke sana terbahagi kepada beberapa buah daerah yang didiami oleh beberapa keturunan Arab dan Yahudi di mana setiap daerah terbahagi pula kepada dua bahagian iaitu bahagain pertama meliputi tanah pertanian manakala bahagian kedua meliputi benteng dan kubu pertahanan. Benteng pertahanan ini adalah penting bagi melindungi kaum wanita, anak-anak dan orang-orang lemah ketika diserang oleh musuh. Ia juga dijadikan tempat untuk menyimpan hasil panen dan buahan kerana letak Bandar Yathrib yang terbuka dengan tempat terbuka untuk musuh menyerang dan merampas harta benda dan ia juga dijadikan tempat menyimpan harta dan senjata. Disamping mempunyai biara untuk beribadat dan tempat pengajian di dalamnya, di dalam benteng ini dipenuhi dengan peralatan rumah yang mahal serta pelbagai kitab agama. Di situ juga kaum Yahudi berkumpul dan berbincang juga bersumpah dengan kitab suci mereka ketika melakukan sesuatu perjanjian atau muafakat.
Yathrib atau Madinah ketika hijrahnya nabi s.a.w ke sana terbahagi kepada beberapa buah daerah yang didiami oleh beberapa keturunan Arab dan Yahudi di mana setiap daerah terbahagi pula kepada dua bahagian iaitu bahagain pertama meliputi tanah pertanian manakala bahagian kedua meliputi benteng dan kubu pertahanan. Benteng pertahanan ini adalah penting bagi melindungi kaum wanita, anak-anak dan orang-orang lemah ketika diserang oleh musuh. Ia juga dijadikan tempat untuk menyimpan hasil panen dan buahan kerana letak Bandar Yathrib yang terbuka dengan tempat terbuka untuk musuh menyerang dan merampas harta benda dan ia juga dijadikan tempat menyimpan harta dan senjata. Disamping mempunyai biara untuk beribadat dan tempat pengajian di dalamnya, di dalam benteng ini dipenuhi dengan peralatan rumah yang mahal serta pelbagai kitab agama. Di situ juga kaum Yahudi berkumpul dan berbincang juga bersumpah dengan kitab suci mereka ketika melakukan sesuatu perjanjian atau muafakat.
Madinah dikelilingi banyak gunung-gunung
batu Harrah yang menjadi benteng pertahanan dari serangan musuh. Di
sebelah utaranya terbuka untuk lintasan sementara lintasan lainnya
dibentengi oleh pohon-pohon kurma yang tebal yang tidak mampu dilalui
oleh tentera kecuali mengikut jalan-jalan sempit yang tidak sesuai bagi
perjalanan tentera dan mengatur barisan. Bahagian-bahagian yang berhutan
tebal dengan pohon-pohoin kurma itu merupakan tempat kawalan tentera
yang tersembunyi dan cukup untuk mengkucar-kacirkan barisan tentera
musuh dan menghalangnya daripada membuat serangan.
Alam asli telah menjadikan Yathrib tanah
lahar muntahan gunung berapi yang menjadikan buminya amat subur selain
banyak jeram dan kawasan lembah yang dapat dapat menampung air bagi
perairan kurma dan tanaman lain. Wadi menjadi tempat rekreasi Madinah di
mana dari wadi ini mengalir air ke ladang. Selain itu tanah Yathrib
begitu sesuai untuk digali sumur dalam ladang-ladang.
d. Keadaan Agama dan Kedudukan Kemasyarakatan di Madinah
Umumnya semua bangsa Arab mengikut pegangan agama kaum Quraisy dan penduduk Mekah memandang mereka sebagai penjaga Ka’abah dan juga sebagai pemimpin dalam agama dan sebagai panutan dalam aqidah dan peribadatan. Mereka menyembah berhala Cuma hubungan mereka dengan sebahagian berhala seperti Manat lebih daripada yang lain terutama kaum Aus dan Khazraj.
Umumnya semua bangsa Arab mengikut pegangan agama kaum Quraisy dan penduduk Mekah memandang mereka sebagai penjaga Ka’abah dan juga sebagai pemimpin dalam agama dan sebagai panutan dalam aqidah dan peribadatan. Mereka menyembah berhala Cuma hubungan mereka dengan sebahagian berhala seperti Manat lebih daripada yang lain terutama kaum Aus dan Khazraj.
Sebuah hadith riwayat Imam Ahmad dari
‘Urwah daripada Sayyidatina ‘Aisyah yang menafsirkan ayat 158 surah
al-Baqarah yang bermaksud :
Sesungguhnya berjalan antara Sofa dan
Marwah itu sebahagian tanda-tanda taat kepada Allah maka sesiapa yang
mengerjakan haji di Baitullah atau mengerjakan umrah, maka tiada
kesalahan ia berulang alik di dua tempat itu….
Kata Sayyidatina ‘Aisyah mengenai ayat
ini, maksudnya : Kaum Ansar sebelum memeluk Islam memuja berhala Manat
yang rupanya garang di mana mereka sembah di Musyallal. Ada di antara
mereka memuja berhala itu keberatan untuk bersa’ie di Sofa dan Marwah.
Mereka bertanya kepada Rasulullah s.a.w : “Wahai Rasulullah! Kami
keberatan untuk bersa’ie di Sofa dan Marwah pada masa jahiliyah dahulu”.
Lalu Allah menurunkan ayat di atas.
Penduduk Madinah tidak menyembah patung
berhala secara meluas tidak seperti di Mekah dan sebenarnya orang-orang
Madinah menyembah berhala hanya mengikut orang-orang Mekah.
Warga Madinah mempunyai dua hari perayaan
iaitu hari Nauruz dan Maharjan yang mereka ambil daripada orang-orang
Parsi untuk bersuka-suka tetapi setelah kedatangan Islam ia dihapuskan.
e. Keadaan Ekonomi dan Peradaban di Madinah
Bandar Yathrib atau Madinah merupakan bumi pertanian di mana kebanyakan penduduknya bergantung kepada hasil bertani dan berladang di mana hasil utamanya ialah kurma dan anggur. Pohon kurma banyak kegunaannya iaitu buahnya dijadikan makanan, batangnya dijadikan bahan bangunan, perusahaan kayu, bahan bakar dan makanan binatang ternak. Jenis bijian yang merupakan makanan asas penduduk Yathrib ialah barli kemudian gandum dan juga banyak ditanam sayuran.
Bandar Yathrib atau Madinah merupakan bumi pertanian di mana kebanyakan penduduknya bergantung kepada hasil bertani dan berladang di mana hasil utamanya ialah kurma dan anggur. Pohon kurma banyak kegunaannya iaitu buahnya dijadikan makanan, batangnya dijadikan bahan bangunan, perusahaan kayu, bahan bakar dan makanan binatang ternak. Jenis bijian yang merupakan makanan asas penduduk Yathrib ialah barli kemudian gandum dan juga banyak ditanam sayuran.
Bagi mereka ada cara bertani, sewa tanah,
Muzabanah iaitu menjual kurma yang masih ditandannya dengan kurma yang
sudah ditimbang dengan taksiran, Muhaqalah iaitu menjual hasil tanaman
barli atau gandum yang masih ditangkainya dalam ladang juga dengan
taksiran, Mukhabarah dan Muzara’ah di mana kedua-duanya hampir sama
iaitu pembahagian hasil tanaman antara pengusaha dengan tuan tanah
sepertiga atau seperempat tetapi benih diberikan oleh tuan tanah kepada
pengusaha tanaman itu. Mukhabarah ialah benih yang disediakan sendiri
oleh pengusaha manakala Mu’awanah pula ialah penjualan hasil buahan
selama 2 atau 3 tahun atau pun lebih. Mata uang di Mekah dan Madinah
adalah sama. Dalam urusan jual beli banyak digunakan taksiran/sukatan di
Madinah berbanding di Mekah kerana penduduk Madinah banyak bergantung
kepada bijian dan buahan.
Kesuburan tanah Madinah masih tidak mampu
menampung keperluan makanan penduduknya yang menyebabkan mereka
mengimport tepung putih, minyak sapi dan madu dari Syam. Kegiatan
perniagaan memang ada walau pun tidak sehebat penduduk Mekah di mana
warga lembah tanpa tanaman dan tanpa air yang mencukupi maka mereka
bergantung hidup kepada aktivititas perdagangan pada musim panas dan
musim sejuk.
Ada perusahaan pertukangan di Madinah
yang kebanyakannya diusahakan oleh kaum Yahudi di mana pada umumnya
Yahudi bani Qainuqa’ adalah tukang emas. Ada beberapa pasar di Madinah
milik bani Qainuqa’ menjadi pusat jual beli barang perhiasan dari emas
begitu juga pasar jualan bijih-bijih benih. Kaum Yahudi sebagaimana
diketahui lebih kaya daripada bangsa Arab di mana Arab dengan sifat
kekampungan dan kurang berfikir serta boros dengan uang memaksa mereka
bergadai dengan kaum Yahudi yang kebanyakkannya gadaian itu dikenakan
riba berlipat ganda. Warga Madinah juga mempunyai harta kekayaan berupa
unta, lembu dan kambing di mana mereka gunakan unta untuk pengairan
tanaman. Beberapa padang ragut kepunyaan mereka di mana dari situlah
mereka mendapatkan kayu api disamping mengembala binatang ternakan.
Madinah menjadi penghasil tenunan dari
kapas dan sutera, bantal sandar beraneka warna dan tabir-tabir yang
berlukis. Selain itu banyak peniaga minyak wangi menjual atar dan
kasturi serta anbar dan raksa. Cara-cara jual beli pada masa itu ada
yang dilanjutkan oleh Islam dan ada yang dilarang seperti amalan
menyorok barang, lelangan barangan di mana diberikan kepada mereka yang
menawarkan harga paling tinggi, menyambut dan menemui
penunggang-penunggang di luar Madinah, menjual susu yang masih berada
dalam unta atau kambing, menjual dengan bayaran bertangguh, menjual
dengan agak-agak sahaja dan lain-lain. Ada juga kaum Aus dan Khazraj
yang berurusan dengan riba tetapi jarang berbanding kaum Yahudi. Warga
Madinah juga membuat kerja menjahit, menyamak kulit, membina rumah,
mengukir dan sebagainya yang terkenal di masa sebelum hijrah.
Wallahu ‘alam bish shawwab.
Jakarta, 17 Februari 2017.
Vien AM.
Di copas dari :
Rasulullah saw dan orang Yahudi buta
Posted in Kisah Keteladanan Rasullulah, Kumpulan kisah dan cerpen on January 11, 2015|
Leave a Comment »
“Wahai saudaraku! Jangan engkau dekati Muhammad itu. Dia orang gila.
Dia pembohong. Dia tukang sihir. Jika engkau mendekatinya, engkau akan
dipengaruhinya dan engkau akan menjadi seperti dia,” kata seorang
pengemis buta Yahudi berulang-ulang kali di satu sudut pasar di Madinah
pada setiap pagi sambil tangannya menadah meminta belas orang yang
lalu-lalang.
Orang yang lalu-lalang di pasar itu ada yang menghulurkan sedekah kerana kasihan malah ada juga yang tidak mempedulikannya langsung.
Pada setiap pagi, kata-kata menghina Rasulullah SAW itu tidak lekang daripada mulutnya seolah-olah mengingatkan kepada orang ramai supaya jangan terpedaya dengan ajaran Rasulullah SAW. Seperti biasa juga, Rasulullah SAW ke pasar Madinah. Apabila baginda sampai, baginda terus mendapatkan pengemis buta Yahudi itu lalu menyuapkan makanan ke mulutnya dengan lembut dan bersopan tanpa berkata apa-apa.
Pengemis buta Yahudi yang tidak pernah bertanya siapakah yang menyuapkan itu begitu berselera sekali apabila ada orang yang baik hati memberi dan menyuapkan makanan ke mulutnya.
Perbuatan baginda itu dilakukannya setiap hari sehinggalah baginda wafat. Sejak kewafatan baginda, tidak ada sesiapa yang sudi menyuapkan makanan ke mulut pengemis itu setiap pagi.
Pada satu pagi, Saidina Abu Bakar ra pergi ke rumah anaknya, Siti Aisyah yang juga merupakan isteri Rasulullah SAW untuk bertanyakan sesuatu kepadanya.
“Wahai anakku Aisyah, apakah kebiasaan yang Muhammad lakukan yang aku tidak lakukan?”, tanya Saidina Abu Bakar ra sebaik duduk di dalam rumah Aisyah.
“Ayahandaku, boleh dikatakan apa sahaja yang Rasulullah lakukan, ayahanda telah lakukan kecuali satu,” beritahu Aisyah sambil melayan ayahandanya dengan hidangan yang tersedia.
“Apakah dia wahai anakku, Aisyah?”
“Setiap pagi Rasulullah akan membawa makanan untuk seorang pengemis buta Yahudi di satu sudut di pasar Madinah dan menyuapkan makanan ke mulutnya. Sejak pemergian Rasulullah, sudah tentu tidak ada sesiapa lagi yang menyuapkan makanan kepada pengemis itu,” beritahu Aisyah kepada ayahandanya seolah-olah kasihan dengan nasib pengemis itu.
“Kalau begitu, ayahanda akan lakukan seperti apa yang Muhammad lakukan setiap pagi. Kamu sediakanlah makanan yang selalu dibawa oleh Muhammad untuk pengemis itu,” beritahu Saidina Abu Bakar ra kepada anaknya.
Pada keesokan harinya, Saidina Abu BAkar ra membawakan makanan yang sama seperti apa yang Rasulullah SAW bawakan untuk pengemis itu sebelum ini. Setelah puas mencari, akhirnya beliau bertemu juga dengan pengemis buta itu. Saidina Abu Bakar ra segera menghampiri dan terus menyuapkan makanan ke mulut pengemis itu.
“Hei… Siapakah kamu? Berani kamu menyuapku?” Pengemis buta itu mengherdik Saidina Abu Bakar ra. Pengemis buta itu terasa lain benar perbuatan Saidina Abu Bakar ra itu seperti kebiasaan.
“Akulah orang yang selalu menyuapmu setiap pagi,” jawab Saidina Abu Bakar ra sambil memerhatikan wajah pengemis buta itu yang nampak marah.
“Bukan! Kamu bukan orang yang selalu menyuapku setiap pagi. Perbuatan orang itu terlalu lembut dan bersopan. Aku dapat merasakannya, dia terlebih dahulu akan menghaluskan makanan itu kemudian barulah menyuap ke mulutku. Tapi kali ini aku terasa sangat susah aku hendak menelannya,” balas pengemis buta itu lagi sambil menolak tangan Saidina Abu Bakar ra yang masih memegang makanan itu.
“Ya, aku mengaku. Aku bukan orang yang biasa menyuapmu setiap pagi. Aku adalah sahabatnya. Aku menggantikan tempatnya,” beritahu Saidina Abu Bakar ra sambil mengesat air matanya yang sedih.
“Tetapi ke manakah perginya orang itu dan siapakah dia?”, tanya pengemis buta itu.
“Dia ialah Muhammad Rasulullah. Dia telah kembali ke rahmatullah. Sebab itulah aku yang menggantikan tempatnya,” jelas Saidina Abu Bakar ra dengan harapan pengemis itu berpuas hati.
“Dia Muhammad Rasulullah?”, kata pengemis itu dengan suara yang terkedu.
“Mengapa kamu terkejut? Dia insan yang sangat mulia,” beritahu Saidina Abu Bakar ra. Tidak semena-mena pengemis itu menangis sepuas-puasnya. Setelah agak reda, barulah dia bersuara.
“Benarkah dia Muhammad Rasulullah?”, pengemis buta itu mengulangi pertanyaannya seolah-olah tidak percaya dengan berita yang baru didengarnya itu.
“Ya benar. Kamu tidak percaya?”
“Selama ini aku menghinanya, aku memfitnahnya tetapi dia sedikit pun tidak pernah memarahiku malah dia terus juga menyuap makanan ke mulutku dengan sopan dan lembut. Sekarang aku telah kehilangannya sebelum sempat memohon ampun kepadanya,” ujar pengemis itu sambil menangis teresak-esak.
“Dia memang insan yang sangat mulia. Kamu tidak akan berjumpa dengan manusia semulia itu selepas ini kerana dia telah pun meninggalkan kita,” beritahu Saidina Abu Bakar ra.
“Kalau begitu, aku mahu kamu menjadi saksi. Aku ingin mengucapkan kalimah syahadah dan aku memohon keampunan Allah,” ujar pengemis buta itu.
Selepas peristiwa itu, pengemis itu telah memeluk Islam di hadapan Saidina Abu Bakar ra. Keperibadian Rasulullah SAW telah memikat jiwa pengemis itu untuk mengakui ke-Esaan Allah..
Orang yang lalu-lalang di pasar itu ada yang menghulurkan sedekah kerana kasihan malah ada juga yang tidak mempedulikannya langsung.
Pada setiap pagi, kata-kata menghina Rasulullah SAW itu tidak lekang daripada mulutnya seolah-olah mengingatkan kepada orang ramai supaya jangan terpedaya dengan ajaran Rasulullah SAW. Seperti biasa juga, Rasulullah SAW ke pasar Madinah. Apabila baginda sampai, baginda terus mendapatkan pengemis buta Yahudi itu lalu menyuapkan makanan ke mulutnya dengan lembut dan bersopan tanpa berkata apa-apa.
Pengemis buta Yahudi yang tidak pernah bertanya siapakah yang menyuapkan itu begitu berselera sekali apabila ada orang yang baik hati memberi dan menyuapkan makanan ke mulutnya.
Perbuatan baginda itu dilakukannya setiap hari sehinggalah baginda wafat. Sejak kewafatan baginda, tidak ada sesiapa yang sudi menyuapkan makanan ke mulut pengemis itu setiap pagi.
Pada satu pagi, Saidina Abu Bakar ra pergi ke rumah anaknya, Siti Aisyah yang juga merupakan isteri Rasulullah SAW untuk bertanyakan sesuatu kepadanya.
“Wahai anakku Aisyah, apakah kebiasaan yang Muhammad lakukan yang aku tidak lakukan?”, tanya Saidina Abu Bakar ra sebaik duduk di dalam rumah Aisyah.
“Ayahandaku, boleh dikatakan apa sahaja yang Rasulullah lakukan, ayahanda telah lakukan kecuali satu,” beritahu Aisyah sambil melayan ayahandanya dengan hidangan yang tersedia.
“Apakah dia wahai anakku, Aisyah?”
“Setiap pagi Rasulullah akan membawa makanan untuk seorang pengemis buta Yahudi di satu sudut di pasar Madinah dan menyuapkan makanan ke mulutnya. Sejak pemergian Rasulullah, sudah tentu tidak ada sesiapa lagi yang menyuapkan makanan kepada pengemis itu,” beritahu Aisyah kepada ayahandanya seolah-olah kasihan dengan nasib pengemis itu.
“Kalau begitu, ayahanda akan lakukan seperti apa yang Muhammad lakukan setiap pagi. Kamu sediakanlah makanan yang selalu dibawa oleh Muhammad untuk pengemis itu,” beritahu Saidina Abu Bakar ra kepada anaknya.
Pada keesokan harinya, Saidina Abu BAkar ra membawakan makanan yang sama seperti apa yang Rasulullah SAW bawakan untuk pengemis itu sebelum ini. Setelah puas mencari, akhirnya beliau bertemu juga dengan pengemis buta itu. Saidina Abu Bakar ra segera menghampiri dan terus menyuapkan makanan ke mulut pengemis itu.
“Hei… Siapakah kamu? Berani kamu menyuapku?” Pengemis buta itu mengherdik Saidina Abu Bakar ra. Pengemis buta itu terasa lain benar perbuatan Saidina Abu Bakar ra itu seperti kebiasaan.
“Akulah orang yang selalu menyuapmu setiap pagi,” jawab Saidina Abu Bakar ra sambil memerhatikan wajah pengemis buta itu yang nampak marah.
“Bukan! Kamu bukan orang yang selalu menyuapku setiap pagi. Perbuatan orang itu terlalu lembut dan bersopan. Aku dapat merasakannya, dia terlebih dahulu akan menghaluskan makanan itu kemudian barulah menyuap ke mulutku. Tapi kali ini aku terasa sangat susah aku hendak menelannya,” balas pengemis buta itu lagi sambil menolak tangan Saidina Abu Bakar ra yang masih memegang makanan itu.
“Ya, aku mengaku. Aku bukan orang yang biasa menyuapmu setiap pagi. Aku adalah sahabatnya. Aku menggantikan tempatnya,” beritahu Saidina Abu Bakar ra sambil mengesat air matanya yang sedih.
“Tetapi ke manakah perginya orang itu dan siapakah dia?”, tanya pengemis buta itu.
“Dia ialah Muhammad Rasulullah. Dia telah kembali ke rahmatullah. Sebab itulah aku yang menggantikan tempatnya,” jelas Saidina Abu Bakar ra dengan harapan pengemis itu berpuas hati.
“Dia Muhammad Rasulullah?”, kata pengemis itu dengan suara yang terkedu.
“Mengapa kamu terkejut? Dia insan yang sangat mulia,” beritahu Saidina Abu Bakar ra. Tidak semena-mena pengemis itu menangis sepuas-puasnya. Setelah agak reda, barulah dia bersuara.
“Benarkah dia Muhammad Rasulullah?”, pengemis buta itu mengulangi pertanyaannya seolah-olah tidak percaya dengan berita yang baru didengarnya itu.
“Ya benar. Kamu tidak percaya?”
“Selama ini aku menghinanya, aku memfitnahnya tetapi dia sedikit pun tidak pernah memarahiku malah dia terus juga menyuap makanan ke mulutku dengan sopan dan lembut. Sekarang aku telah kehilangannya sebelum sempat memohon ampun kepadanya,” ujar pengemis itu sambil menangis teresak-esak.
“Dia memang insan yang sangat mulia. Kamu tidak akan berjumpa dengan manusia semulia itu selepas ini kerana dia telah pun meninggalkan kita,” beritahu Saidina Abu Bakar ra.
“Kalau begitu, aku mahu kamu menjadi saksi. Aku ingin mengucapkan kalimah syahadah dan aku memohon keampunan Allah,” ujar pengemis buta itu.
Selepas peristiwa itu, pengemis itu telah memeluk Islam di hadapan Saidina Abu Bakar ra. Keperibadian Rasulullah SAW telah memikat jiwa pengemis itu untuk mengakui ke-Esaan Allah..
Read Full Post »
DAFTAR ISI SIRAH NABAWIYAH ( Sejarah Hidup Rasulullah saw)
Posted in Sirah Nabawiyah ( Sejarah Hidup Rasulullah saw) on February 3, 2012|
Leave a Comment »
PENDAHULUAN
Bab I. Asal Muasal Tahun Gajah
Bab II. Silsilah Rasulullah
Bab III. Kelahiran dan Masa Kecil
Bab IV. Masa Remaja
Bab V. Pernikahan dengan Khadijah dan Datangnya Wahyu Pertama
Bab VI. Dakwah Secara Rahasia ( Sirriyatud -dakwah/
Bab VII. Dakwah Secara Terang-terangan (Jahriyatud Dakwah)
Bab VIII. Penolakan Orang-orang Musyrik Mekah Terhadap Islam
Bab IX. Pengucilan dan Boikot Ekonomi Terhadap Kaum Muslimin ( Hijrah Pertama).
Bab X. Tahun Duka Cita ( Amul Huzni dan Peristiwa di Thaif )
Bab XI. Peristiwa Isra-Mi’raj dan Persiapan Madinah sebagai Tempat Hijrah
Bab XII. Baiat Aqabah dan Hijrahnya Para Sahabat
Bab XIII. Hijrah ke Madinah
Bab XIV. Pembentukan Masyarakat Madinah
Bab XV. Perang Badar, Perang Pertama dalam Sejarah Islam
Bab XVI. Pengkhianatan Pertama Yahudi dan Munculnya Tanda-tanda Kemunafikan
Bab XVII. Perang Uhud dan Hikmah Diperintahkannya Berperang (bag-1)
Bab XVII. Perang Uhud dan Hikmah Diperintahkannya Berperang (bag-2)
Bab XVIII. Dakwah Kepada Ahli Kitab (bag-1)
Bab XVIII . Dakwah Kepada Ahli Kitab (bag-2)
Bab XIX. Pengkhianatan Yahudi Bani Nadhir dan Dampaknya
Bab XX. Jihad fi Sabilillah (1).
Bab XX. Jihad fi Sabilillah (2)
Bab XX. Jihad fi Sabilillah (3)
Bab XXI. Perdamaian Hudaibiyah dan Baitur Ridwan
Bab XXII. Perang Khaibar
Bab XXIII. Dakwah Kepada Raja-raja
Bab XXIV. Perang Mu’tah
Bab XXV. Penaklukkan Mekah ( Fathu Makkah) (1)
Bab XXV. Penaklukkan Mekah ( Fathu Makkah) (2)
Bab XXV. Penaklukkan Mekah ( Fathu Makkah) (3)
Bab XXVI. Perang Hunain
Bab XXVII. Perang Tabuk dan Kisah 3 Orang Sahabat
Bab XXVIII. Haji Wada, Khutbah Rasulullah dan Tanda Sempurnanya Islam
Bab XXIX. Rasulullah dan Perkawinan
Bab XXX. Hari-hari Akhir Rasulullah saw(1)
Bab XXX. Hari-hari Akhir Rasulullah saw (2)
Bab XXX. Hari-hari Akhir Rasulullah saw(3)
PENUTUP
Read Full Post »
Bab I. Asal Muasal Tahun Gajah
Bab II. Silsilah Rasulullah
Bab III. Kelahiran dan Masa Kecil
Bab IV. Masa Remaja
Bab V. Pernikahan dengan Khadijah dan Datangnya Wahyu Pertama
Bab VI. Dakwah Secara Rahasia ( Sirriyatud -dakwah/
Bab VII. Dakwah Secara Terang-terangan (Jahriyatud Dakwah)
Bab VIII. Penolakan Orang-orang Musyrik Mekah Terhadap Islam
Bab IX. Pengucilan dan Boikot Ekonomi Terhadap Kaum Muslimin ( Hijrah Pertama).
Bab X. Tahun Duka Cita ( Amul Huzni dan Peristiwa di Thaif )
Bab XI. Peristiwa Isra-Mi’raj dan Persiapan Madinah sebagai Tempat Hijrah
Bab XII. Baiat Aqabah dan Hijrahnya Para Sahabat
Bab XIII. Hijrah ke Madinah
Bab XIV. Pembentukan Masyarakat Madinah
Bab XV. Perang Badar, Perang Pertama dalam Sejarah Islam
Bab XVI. Pengkhianatan Pertama Yahudi dan Munculnya Tanda-tanda Kemunafikan
Bab XVII. Perang Uhud dan Hikmah Diperintahkannya Berperang (bag-1)
Bab XVII. Perang Uhud dan Hikmah Diperintahkannya Berperang (bag-2)
Bab XVIII. Dakwah Kepada Ahli Kitab (bag-1)
Bab XVIII . Dakwah Kepada Ahli Kitab (bag-2)
Bab XIX. Pengkhianatan Yahudi Bani Nadhir dan Dampaknya
Bab XX. Jihad fi Sabilillah (1).
Bab XX. Jihad fi Sabilillah (2)
Bab XX. Jihad fi Sabilillah (3)
Bab XXI. Perdamaian Hudaibiyah dan Baitur Ridwan
Bab XXII. Perang Khaibar
Bab XXIII. Dakwah Kepada Raja-raja
Bab XXIV. Perang Mu’tah
Bab XXV. Penaklukkan Mekah ( Fathu Makkah) (1)
Bab XXV. Penaklukkan Mekah ( Fathu Makkah) (2)
Bab XXV. Penaklukkan Mekah ( Fathu Makkah) (3)
Bab XXVI. Perang Hunain
Bab XXVII. Perang Tabuk dan Kisah 3 Orang Sahabat
Bab XXVIII. Haji Wada, Khutbah Rasulullah dan Tanda Sempurnanya Islam
Bab XXIX. Rasulullah dan Perkawinan
Bab XXX. Hari-hari Akhir Rasulullah saw(1)
Bab XXX. Hari-hari Akhir Rasulullah saw (2)
Bab XXX. Hari-hari Akhir Rasulullah saw(3)
PENUTUP
Read Full Post »
XXIX. Rasulullah dan Pernikahan.
Posted in Sirah Nabawiyah ( Sejarah Hidup Rasulullah saw) on February 2, 2012|
4 Comments »
“Dan jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi:
dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS.An-Nisaa(4):3).
Ayat inilah yang sering dijadikan
pegangan bagi orang-orang yang menerapkan poligami. Padahal ayat ini
sebenarnya merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya yang bila
diperhatikan lebih seksama akan memberikan pengertian lain. Bunyi ayat
tersebut adalah sebagai berikut :
“Dan berikanlah kepada anak-anak
yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik
dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu.
Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa
yang besar”.(QS.An-Nisaa(4):2).
Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud serta
At-Turmuzy meriwayatkan bahwa Urwah ibn Zubair bertanya kepada Aisyah ra
mengenai ayat tersebut diatas. Aisyah menjawab bahwa ayat tersebut
berkaitan dengan anak yatim yang berada dalam pengawasan seorang wali,
dimana hartanya bergabung dengan sang wali. Kemudian karena tertarik
akan kecantikan dan terutama karena hartanya, sang wali bermaksud
mengawininya dengan tujuan agar ia dapat menguasai hartanya. Ia juga
bermaksud tidak memberikan mahar yang sesuai. Aisyah kemudian
melanjutkan penjelasannya bahwa setelah itu beberapa sahabat bertanya
kepada rasulullah saw mengenai perempuan. Maka turunlah ayat 127 surat
An-Nisaa sebagai berikut :
“Dan mereka minta fatwa kepadamu
tentang para wanita. Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang
mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Qur’an (juga
memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada
mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini
mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah
menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan
kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah
Maha Mengetahuinya”.
Pada waktu ayat ini diturunkan, dalam
tradisi Arab Jahiliah, para wali anak yatim sering mengawini anak
asuhnya disebabkan tertarik akan harta dan kecantikannya, namun bila si
anak yatim tidak cantik ia menghalangi lelaki lain mengawini mereka
karena khawatir harta mereka terlepas dari tangan para wali. Karena
itulah Allah berfirman “jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya)”,(
kamu dalam ayat ini maksudnya ditujukan kepada para wali anak yatim),”
maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat….”
Begitulah penjelasan Aisyah. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa ayat 3 tersebut diatas bukanlah anjuran
untuk berpoligami. Pada kenyataannya poligami telah dikenal dan
dipraktekan berbagai lapisan masyarakat di berbagai penjuru dunia, baik
dunia Barat maupun Timur, sejak dahulu kala dengan jumlah yang tak
terbatas pula. Bahkan sebagian para nabi sebelum rasulullahpun seperti
Ibrahim as, Musa as dan Daud as juga berpoligami.
Jadi bukan agama Islam yang mengajarkan
hal tersebut. Islam memang membolehkan namun hanya sebagai jalan keluar
bagi yang memerlukannya, tergantung situasi dan kondisi, apakah lebih
banyak manfaat atau mudharatnya. Itupun dengan syarat yang tidak mudah
dan membatasinya tidak lebih dari 4. Seorang suami sekaligus ayah dalam
Islam wajib bertanggung jawab terhadap perbuatan dan kebutuhan semua
istri dan anak yang dimilikinya, secara adil.
Namun, bila ditelaah lebih lanjut, ”jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,… .
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”,
menunjukkan bahwa dengan tidak berpoligami adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya. Karena dengan begitu, seorang suami tidak perlu
merasa ada kekhawatiran berbuat tidak adil terhadap istri maupun
anaknya.
“Dan kamu sekali-kali tidak akan
dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun kamu sangat
ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri
(dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.(QS.An-Nisaa(4):129).
Dengan demikian jelas Poligami bukanlah
sunah apalagi wajib. Namun bila alasannya ingin meneladani rasulullah,
perlu diingat bahwa beliau lebih lama bermonogami daripada berpoligami.
Pada saat poligami adalah suatu hal yang lumrah di tanah Arab, dimana
kebanyakan laki-laki beristri hingga lebih dari 10, rasulullah lebih
memilih untuk bermonogami bersama istri tercinta, Siti Khadijjah ra,
selama lebih kurang 25 tahun, hingga akhir hayat sang istri.
Padahal usia rasulullah saat menikah baru
25 tahun, usia dimana dorongan syahwat seorang laki-laki sedang
tinggi-tingginya, sementara Siti Khadijjah sendiri telah berusia 40
tahun. Dan kalaupun rasulullah memang menghendakinya, beliau dapat
dengan mudah menikah lagi dengan banyak perempuan tanpa melanggar adat
dan tradisi yang berlaku pada masa itu. Rasulullah baru menikah lagi
kurang-lebih 2 tahun setelah wafatnya Siti Khadijjah, yaitu pada periode
Madinah, periode yang penuh peperangan.
Jadi sungguh mustahil bila ada yang
berpendapat bahwa rasulullah berpoligami demi mengejar kesenangan
duniawi belaka. Perlu diingat, bahwa semua perempuan yang menjadi istri
rasulullah adalah janda, kecuali Aisyah ra, dan kesemuanya adalah untuk
tujuan menyukseskan dakwah dan membantu menyelamatkan dan mengangkat
derajat perempuan-perempuan yang kehilangan suami.
Bahkan sebenarnya, Allah swt telah
memberikan Rasulullah keleluasaan untuk menikahi perempuan manapun yang
beliau sukai, bila beliau mau. Ini benar-benar kekhususan yang hanya
diberikan Sang Khalik kepada beliau, tidak kepada yang lain. Namun
kenyataannya Rasulullah tidak mau memanfaatkan kesempatan tersebut.
Karena beliau tahu persis betapa sulit dan beratnya tanggung jawab
sebagai seorang suami.
“ Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah
menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya
dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh
dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula)
anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan
dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara
laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu
yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mu’min yang menyerahkan
dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min.
Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka
tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya
tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”.(QS.Al-Ahzab(33):50).
Berikut istri-istri rasulullah dan sedikit latar belakang mengapa rasulullah mengawininya.
1.Khadijjah binti Khuwailid ra.
Ia adalah seorang saudagar perempuan
kaya-raya yang dikenal berahlak mulia dan terhormat. Ia mengetahui bahwa
Muhammad adalah seorang pemuda yang jujur dan berahlak mulia, oleh
sebab itu ia mempercayakan perniagaannya dibawa oleh pemuda tersebut.
Nabi saw menerima wahyu pertama 15 tahun setelah perkawinannya dengan
Khadijjah ra.
Ialah orang pertama yang membenarkan,
mendukung dan mempertaruhkan seluruh kekayaannya demi kelancaran dakwah
Islam. Ia terus mendampingi rasulullah sebagai satu-satunya istri hingga
wafatnya pada usia 65 tahun. Khadijah adalah satu-satunya istri
Rasulullah yang mendapat kepercayaan dari Sang Khalik untuk melahirkan
putra-putri Rasulullah kecuali Maryah Al-Qibthiyyah yang melahirkan
seorang putra. Namun meninggal dunia ketika masih bayi. Dari rahim
Khadijahlah, Rasullullah dikarunia 4 putri dan 2 putra, yaitu Zainab,
Ruqayah, Ummi Kultsum, Fatimah Az-Zahra, Qasim dan Ibrahim. Namun kedua
putra Rasulullah meninggal ketika masih bayi.
2. Saudah binti Zam’ah ra.
Ia seorang janda berumur yang ditinggal
wafat suaminya ketika mereka hijrah ke Habasyah(Ethiopia) guna
menghindari serangan kaum musyrik. Ia terpaksa kembali ke Mekah sambil
menanggung beban kehidupan anak-anaknya dengan resiko dipaksa murtad
oleh kaumnya. Rasulullah menikahinya dalam keadaan demikian.
3. Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq ra.
Ia satu-satunya istri rasulullah yang
ketika dinikahi masih gadis. Abu Bakarlah yang membujuk rasulullah agar
mau mengawini putrinya tersebut, karena ia tidak tega melihat rasulullah
terus bersedih hati ditinggal wafat Khadijjah.
Riwayat lain mengatakan bahwa pernikahan
Rasulullah adalah atas petunjuk Jibril as. Malaikat Jibrillah yang
memperlihatkan gambar Aisyah kepada Rasulullah untuk dinikahi beliau
sepeninggal Khadijah.
4. Hafsah binti Umar Ibnul Khatab ra.
Ayahnya sangat bersedih hati ketika suami
Hafsah wafat. Ia ‘menawarkan’ agar Abu Bakar mau menikahinya, namun
tidak ada jawaban. Demikian juga ketika Umar kembali ‘menawarkan’ kepada
Usman bin Affan. Ketika kemudian ia mengadukan kesedihan ini kepada
rasulullah, beliau menghiburnya dengan menikahi putrinya itu sekaligus
sebagai penghargaan beliau atas sang ayah.
5. Hind binti Abi Umayyah atau Ummu Salamah ra.
Juga seorang janda berumur. Suaminya luka
parah dalam perang Uhud kemudian gugur tak lama kemudian. Rasulullah
menikahinya sebagai penghormatan atas jasa suaminya dan demi menanggung
anak-anaknya.
6. Ramlah binti Abu Sufyan ra atau Ummu Habibah.
Ia meninggalkan orang-tuanya dan
berhijrah ke Habasyah bersama suaminya. Namun sampai ditujuan, sang
suami murtad dan menceraikannya. Untuk menghiburnya, rasulullah
menikahinya sekaligus dengan harapan dapat menjalin hubungan dengan
ayahnya yang waktu itu salah satu tokoh utama kaum musyrik Mekah.
7. Juwairiyah binti Al-Harits ra.
Ia seorang putri kepala suku yang
tertawan dalam salah satu peperangan. Keluarganya datang untuk memohon
kebebasannya. Namun dalam pertemuan tersebut ternyata mereka tertarik
kepada Islam dan kemudian memeluknya, demikian juga Juwairiyah. Sebagai
penghormatan rasulullah menikahinya sambil berharap seluruh anggota
sukunya memeluk Islam. Ternyata harapan tersebut terlaksana.
8.Shaffiyah binti Huyaiy ra.
Ia seorang perempuan Yahudi yang tertawan
dalam perang dan dijadikan hamba sahaya oleh salah seorang pasukan
muslimin yang menawannya. Kemudan ia memohon kepada rasulullah agar
dimerdekakan. Rasulullah mengajukan 2 pilihan ; dimerdekakan dan
dipulangkan kepada keluarganya atau dimerdekakan dan tetap tinggal
bersama kaum muslimin. Ternyata ia memilih tinggal dan malah memeluk
Islam. Sebagai penghargaan rasulullah menikahinya.
9. Zainab binti Jahsyi ra.
Ia sepupu rasulullah dan beliau
menikahkannya dengan Zaid ibn Haritsah, bekas anak angkat dan budak
beliau. Rumah tangga mereka tidak bahagia sehingga mereka bercerai dan
sebagai penanggung jawab perkawinan yang gagal tersebut , rasulullah
menikahinya atas perintah Allah.(lihat QS Al-Ahzab (33):37). Ayat ini
sekaligus merupakan perintah Allah swt untuk membatalkan adat Arab
Jahiliyah yang menganggap anak angkat sebagai anak kandung sehingga
tidak boleh mengawini bekas istri mereka.
10. Zainab binti Khuzaimah ra.
Ia seorang janda, suaminya gugur dalam
perang Uhud dan tidak seorangpun dari kaum muslimin setelah itu mau
menikahinya. Kemudian rasulullah menikahinya.
11. Maryah Al-Qibthiyyah ra.
Ia seorang hamba sahaya, hadiah dari
penguasa Mesir, Muqauqis. Setelah dimerdekakan dan masuk Islam,
rasulullah menikahinya. Ia adalah satu-satunya istri rasulullah diluar
Khadijjah yang dikarunia anak walaupun kemudian meninggal ketika masih
berusia 18 bulan.
Rasulullah tidak pernah lagi menikahi
perempuan lain begitu turun perintah dari Sang Khalik untuk tidak lagi
menambah istri. Dari sini jelas terlihat bahwa perkawinan Rasulullah
adalah berdasarkan perintah Allah swt bukan atas kehendak dan kemauan
sendiri.
“Tidak halal bagimu mengawini
perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka
dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu
kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. Dan adalah
Allah Maha Mengawasi segala sesuatu”. (QS.Al-Ahzab(33):52).
Selanjutnya para istri Rasulullah itu
diberi sebutan sebagai Ummul Mukminun atau ibu kaum Muslimin. Dan
setelah wafatnya Rasulullah Allah swt memuliakan mereka dengan melarang
mereka untuk menikah lagi. Dengan demikian di alam akhirat nanti mereka
akan berkumpul kembali dengan suami tercinta, Rasulullah saw.
” … … Dan tidak boleh kamu menyakiti
(hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya
selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat
besar (dosanya) di sisi Allah”. (QS.Al-Ahzab(33):53).
Jadi jelas ledudukan Ummul Mukminin
sangatlah tinggi. Mereka adalah ahlul bait (keluarga nabi) yang sudah
sepatutnya harus kira junjung tinggi. Bahkan Allah swt sendiri yang
telah memuliakan mereka, dan memberi mereka perlakuan khusus.
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu
sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka
janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang
yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik,
dan hendaklah kamu tetap di rumahmu
dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
ta`atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, hai AHLUL BAIT dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya”. ( Terjemah QS.Al-Ahzab (33):32-33).
Jadi sungguh tidak masuk akal jika
orang-orang Syiah meragukan kebersihan dan keimanan beberapa diantara
Ummul Mukminin tersebut. Bahkan menganggap mereka bukan ahlul bait.
Itulah sekeji-kejinya fitnah. Sungguh tak dapat dibayangkan bagaimana
perasaan Rasulullah saw jika beliau masih hidup dan mengetahui fitnah
keji tersebut.
( Bersambung)
Read Full Post »P E N D A H U L U A N ( Sirah Nabawiyah)
Posted in Sirah Nabawiyah ( Sejarah Hidup Rasulullah saw) on August 2, 2011|
Leave a Comment »
Mempelajari Islam tidak cukup hanya
dengan membaca kitab sucinya saja yaitu Al-Quranul Karim. Mengapa
demikian? Ada beberapa penyebab mengapa untuk mengenal ajaran Islam
tidak cukup hanya dengan membaca kitab suci agama tersebut.
Al-Quran adalah kitab suci yang
diturunkan kepada Rasulullah Muhammad saw melalui perantaraan malaikat
Jibril as. Sebelum kitab ini Allah swt pernah menurunkan beberapa kitab
kepada para rasul, diantaranya kitab Zabur kepada nabi Daud as, kitab
Taurat kepada nabi Musa as dan kitab Injil kepada nabi Isa as Kitab-kita
tersebut diturunkan melalui malaikat yang sama, yaitu Jibril as.
Diantara kitab-kitab tersebut terdapat
sejumlah perbedaan dan persamaan. Persamaan yang mendasar adalah
perintah untuk menyembah hanya kepada Allah swt. Sedangkan perbedaan
mencolok terletak dari cara turunnya. Al-Quran turun secara
berangsur-angsur, yaitu selama 22 tahun 2 bulan dan 22 hari. Ayat –ayat
tersebut turun tidak dengan urutan seperti yang kita lihat saat ini.
Malaikat Jibrillah yang memberitahukan langsung kepada Rasulullah
bagaimana letak dan susunan ayat dalam surat harus diletakkan.
Perumpamaannya adalah seperti rak lemari
kosong yang telah diberi sekat, no dan tanda. Kemudian Rasulullah
tinggal memasukkan dan menyelipkannya sesuai no dan tanda yang tertera.
Susunan Al-Quran yang seperti ini sesuai dengan kitab yang ada
disisi-Nya dan dijaga ketat oleh para malaikat, yaitu yang ada di
Lauh-Mahfuz.
“Maka Aku bersumpah dengan tempat
beredarnya bintang-bintang. Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang
besar kalau kamu mengetahui, sesungguhnya Al Qur’an ini adalah
bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh),
tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta alam. Maka apakah kamu menganggap remeh saja Al Qur’an ini?” (QS.Al-Waqiyah(56):75-81).
Berkenaan dengan ayat diatas, Ad-Dhahak
meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra : ”Al-Quran diturunkan secara
keseluruhan dari sisi Allah, dari Lauh Mahfuz, melalui duta-duta
malaikat penulis wahyu, ke langit dunia, lalu para malaikat tersebut
menyampaikannya kepada Jibril secara berangsur-angsur selama 20 malam
dan selanjutnya diturunkan pula oleh Jibril as kepada Rasulullah saw
secara berangsur-angsur selama 23 tahun”. (22 tahun, 2 bulan 22
hari). Itu pula yang ditafsirkan Mujahid, Ikrimah, As-Sidi dan Abu
Hazrah.
Ayat-ayat turun begitu saja tanpa
penyebab tetapi tidak jarang pula diturunkan sebagai jawaban suatu
permasalahan atau keadaan tertentu dan bahkan ada yang turun atas
pertanyaan pribadi. Ini yang menjadi penyebab utama mengapa kitab suci
ini tidak dapat dibaca layaknya kitab-kitab lain, yaitu dibaca berurut
dari depan ke belakang lalu memahaminya secara tekstual.
Untuk dapat memahami dengan baik apa
yang dimaksud ayat-ayat Al-Quran diperlukan pemahaman latar belakang,
keadaan dan suasana ketika ayat turun disamping memahami bahasa Arab,
arti secara bahasa maupun secara istilah, khususnya yang berlaku umum
pada masa itu. Itulah urgensi mengenal, mengetahui dan memahami sejarah
kehidupan Muhammad saw, nabi yang mendapat kehormatan untuk menerima
kitab suci ini. Itulah yang disebut Sirah Nabawiyah.
Muhammad saw adalah seorang hamba Allah
yang sejak kecil bahkan calon ayah ibunyapun telah dipersiapkan secara
matang oleh Sang Khalik. Beliau adalah seorang hamba pilihan yang telah
ditunjuk secara terhornat untuk mengemban tugas maha berat, yaitu
menerima wahyu Allah dan kemudian menyampaikannya kepada umat manusia.
Yang tak lama setelah menunaikan misi suci tersebut dengan sangat
memuaskan maka Allahpun memanggilnya. Subhanallah …
Dengan mempelajari Sirah Nabawiyah inilah
kita dapat mengetahui makna sebenarnya perintah dan maksud ayat-ayat
suci al-Quran. Dengan mempelajari Sirah Nabawiyah kita dapat mengetahui
bagaimana Rasulullah memahami dan merespons perintah-perintah Tuhannya.
Uniknya, kadang perintah tersebut direspons Rasulullah tidak secara
kontekstual. Contohnya adalah cara berwudhu.
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,… ”. (QS Al-Maidah (5): 6).
Dalam prakteknya Rasulullah
menyempurnakan wudhu dengan membasuh tapak tangan, berkumur, memasukkan
dan megeluarkan air dari hidung serta membasuk kedua telinga. Dan Allah
swt tidak melarang hal tersebut. Artinya Sang Khalik meridhoi apa yang
dilakukan nabi. Jadi selama Allah swt mendiamkan dan tidak menegur apa
yang dilakukan Rasulullah, wajib kita mencontohnya.
“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS.An-Nisa(4):80).
Dari sini tampak jelas bahwa untuk
memahami Al-Quran tidak cukup hanya dengan sekedar membacanya kemudian
mengartikan dan menafsirkannya sesuai pengetahuan dan pengertian akal
kita.
Para sahabat yang ketika itu sedang
berada di sisi Rasulullah adalah saksi turunnya ayat-ayat. Mereka tahu
persis bunyi ayat yang turun karena Rasulullah memang selalu langsung
menyampaikan apa yang diterimanya itu. Beliau bahkan memerintahkan
mereka untuk segera menghafalnya. Meski demikian dalam penerapannya
mereka tetap mengerjakan apa yang dicontohkan junjungan mereka itu.
Sebaliknya, bila dalam perjalanannya
ternyata ada sejumlah perbedaan penafsiran, ini harus dimaklumi. Karena
Rasulullah pada awalnya memang melarang menuliskan apa yang dikatakan,
dikerjakan dan diamnya Rasulullah karena khawatir bercampur dengan
ayat-ayat Al-Quran itu sendiri. Namun Rasulullah tetap memerintahkan
para sahabat agar mengingat, mencatat dalam hati dan kemudian
meneruskan serta menyampaikannya kepada yang lain. Yang juga harus
diingat, ada saat-saat dalam keadaan dan situasi tertentu dimana
Rasulullah menyikapinya dengan sikap dan cara berbeda.
Ini yang menjadi penyebab menambahnya
perbedaan hadits. Beruntung beberapa tahun setelah wafatnya Rasulullah,
sejumlah sahabat dan para tabi’in segera memutuskan untuk
menuliskannya. Ini dilakukan demi menjaga agar hadist tetap terjaga (
dengan bermacam perbedaannya) dan tidak makin sering dipalsukan baik
sengaja maupun tidak.
Tampaknya ini sudah menjadi sunatullah.
Perbedaan selama bukan mengenai hal-hal yang pokok dan masih mengikuti
apa yang pernah dicontohkan Rasulullah tetap dibenarkan. Kita tidak
boleh saling merasa bahwa kitalah yang benar dan pihak lain salah.
“ Perbedaan pendapat (di kalangan) umatku adalah rahmat”.(HR. Al-Baihaqi).
Sebaliknya orang yang suka mencari-cari
perbedaan secara sengaja, diantaranya dengan mentakwilkan ayat-ayat
Mutasyabihat, Allah melaknatmya. Tempat mereka adalah neraka jahanam. (
Ayat Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang samar, yang seringkali
membutuhkan pemikiran yang bahkan seringkali memang tidak dapat
ditakwilkan. Contohnya adalah “Mim”, “ Nuun”, “ Alif Laam Miim” ) dan
yang semacamnya.
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al
Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat
itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang
mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah”.(QS.Ali Imran(3):7).
Rasulullah saw telah lama meninggalkan
kita. Demikian pula para sahabat dan para tabi’in beserta generasinya.
Allah swt memerintahkan umat Islam tidak hanya mematuhi Allah dan
rasul-Nya namun juga para ulil amri atau pemimpin yang menjunjung tinggi
ayat-ayat-Nya. Demi mencegah perpecahan dan memberi manfaat yang
banyak bagi umat, mereka diberi keleluasaan memaknai ayat-ayat suci
Al-Quran dan hadits. Inilah ijma dan istihad yang bisa menjadi rujukan
umat.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(QS.An-Nisa’(4)59).
Adalah tugas kita, umat Islam, saat ini,
untuk menjaga kesucian dan keutuhan Al-Quran, isi dan maknanya. Para
hafidz adalah garda terdepannya. Sementara kaum Muslimin dan Muslimat,
secara keseluruhan, wajib menjaganya minimal dengan mengetahui bagaimana
Rasulullah menyikapi dan memaknai isi Al-Quran tersebut. Inilah urgensi
mengenal Sirah Nabawiyah.
Wallahu’alam bish shawwab.
Artikel Lengkapnya Disini
0 komentar:
Posting Komentar